yang saya lakukan, pelupuk mata saya tak kuasa membendung air mata.
Setidaknya berkaca-kaca. Orang melihat kami, para pelawak, di panggung
membikin orang tertawa. Di belakang panggung kami menangis, orang tidak
tahu. Malahan, bakat lawak saya justru terasah oleh kepahitan hidup,
masa-masa menangis yang cukup panjang.
Sebelumnya, tak pernah terbayangkan saya akan menenggak minuman keras.
Sampai mabuk-mabukan hampir setiap malam. Tak hanya itu, saya pun murtad
dari agama Islam, hingga akhirnya saya merasakan Allah Swt menyelamatkan
saya. Dan saya kembali kepada Islam.
Selulus dari SMEA, saya sempat menganggur beberapa lama. Padahal saya harus
membantu membiayai keluarga. Maklum, sejak usia 3,5 tahun bapak saya sudah
meninggal. Saat itu, usia adik bungsu saya baru 35 hari. Terpaksa saya kerja
serabutan. Kadang-kadang ikut jadi kernet angkutan umum.
Pada 1970, saya mulai tertarik masuk grup kesenian, di Malang, namanya
Anoraga. Awalnya cuma jadi figuran. Setelah setahun saya dipercaya menjadi
pemeran utama. Dari situ, saya pindah ke ludruk Wijaya Kusuma II, sebuah
grup yang lebih besar. Uangpun mengalir lancar. Apalagi di situ, saya
menjadi maskot. Jadi anak emas-lah. Anehnya, berapapun uang yang saya dapat,
tak membuat saya bahagia. Saya malah gelisah.
Celakanya, kegelisahan itu saya larikan ke minum minuman keras. Saya biasa
minum bersama kawan-kawan di grup ludruk. Biasanya, minuman lokal, bir Cap
Kuntul. Kebiasaan itu, membuat saya kacau. Pendapatan yang lumayan itu pun,
tak ada bekasnya. Dari situlah saya terbawa pengaruh lingkungan. Tahun 1978
saya berpindah agama ke Kristen. Bukannya ketenangan, kegelisahan saya malah
menjadi-jadi.
Kekristenan saya mulai goyah sekitar tahun 1983. Saat itu saya sudah
bergabung dengan Srimulat. Kebiasaan mabuk-mabukan pun mulai saya
tinggalkan. Pikiran saya mulai jalan, mencari-cari akar kegundahan. Mulai
tumbuh 'kecemburuan' saat melihat kawan-kawan yang muslim, menikmati
kesyahduan suara azan. Pun saat mereka menikmati kebersamaan ketika sholat
berjamaah.
Apalagi kalau datang bulan Ramadhan. Mendengar azan magrib, dur.. dur..
dur.. bedug ditabuh, menyaksikan kawan-kawan berbuka puasa, masya Allah
terbayang dalam benak saya kenikmatan berbuka. Saya merasa di situ ada
kebahagiaan. Setelah berpuasa seharian, saat berbuka, bersama-sama lagi,
terasa benar nikmatnya. Kemudian bergegas ke masjid untuk tarawih berjamaah.
Hal-hal seperti itu banyak membantu menyadarkan saya kembali ke jalan yang
benar. Kalaupun ada, faktor orang lain sebenarnya hanya bersifat penunjang,
yang dominan adalah suara qalbu saya yang memanggil untuk kembali kepada
Islam. Sejauh itu saya masih beranggapan, semua agama baik. Tapi lama-lama,
ada beberapa ajaran yang menyadarkan saya, ternyata Islamlah yang paling
sempurna. Misalnya, dalam surat Al-Ikhlash disebutkan, "Katakan, 'Tuhan itu
satu, Tuhan tidak beranak, tidak diperanakkan." Logikanya, kalau Dia punya
anak, pasti anaknya diistimewakan, nggak mungkin Dia mendahulukan yang lain.
Akhirnya, pada suatu malam di tahun 1986, saya bulatkan tekad kembali kepada
Islam. Saya mencapai kesadaran bahwa saya sudah melenceng. Malam itu juga
saya sholat tahajud 50 rakaat dan satu rakaat witir, sampai menjelang waktu
sholat subuh. Setiap selesai dua rakaat saya tandai dengan satu biji korek.
Paginya saya menemui seorang kiai, mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sejak
itulah, saya buka lembaran baru.
Ketika saya kembali kepada Islam, ada keharuan yang amat-sangat. Bayangkan,
bapak saya orang Madura. Tak ada orang Madura yang beragama Kristen. Maka
seperti saat saya meninggalkan Islam, kembalinya saya kepada Islam juga
ditangisi saudara-saudara saya. Tangis haru dan penuh rasa syukur.
Alhamdulillah, sejak itu saya merasakan ketenangan hidup. Meskipun ada
sedikit kegelisahan yang tersisa, itu karena saya tak bisa menyadarkan istri
dan empat orang anak saya untuk masuk Islam. Sampai akhirnya saya memutuskan
berpisah dengan mereka.
Setidaknya berkaca-kaca. Orang melihat kami, para pelawak, di panggung
membikin orang tertawa. Di belakang panggung kami menangis, orang tidak
tahu. Malahan, bakat lawak saya justru terasah oleh kepahitan hidup,
masa-masa menangis yang cukup panjang.
Sebelumnya, tak pernah terbayangkan saya akan menenggak minuman keras.
Sampai mabuk-mabukan hampir setiap malam. Tak hanya itu, saya pun murtad
dari agama Islam, hingga akhirnya saya merasakan Allah Swt menyelamatkan
saya. Dan saya kembali kepada Islam.
Selulus dari SMEA, saya sempat menganggur beberapa lama. Padahal saya harus
membantu membiayai keluarga. Maklum, sejak usia 3,5 tahun bapak saya sudah
meninggal. Saat itu, usia adik bungsu saya baru 35 hari. Terpaksa saya kerja
serabutan. Kadang-kadang ikut jadi kernet angkutan umum.
Pada 1970, saya mulai tertarik masuk grup kesenian, di Malang, namanya
Anoraga. Awalnya cuma jadi figuran. Setelah setahun saya dipercaya menjadi
pemeran utama. Dari situ, saya pindah ke ludruk Wijaya Kusuma II, sebuah
grup yang lebih besar. Uangpun mengalir lancar. Apalagi di situ, saya
menjadi maskot. Jadi anak emas-lah. Anehnya, berapapun uang yang saya dapat,
tak membuat saya bahagia. Saya malah gelisah.
Celakanya, kegelisahan itu saya larikan ke minum minuman keras. Saya biasa
minum bersama kawan-kawan di grup ludruk. Biasanya, minuman lokal, bir Cap
Kuntul. Kebiasaan itu, membuat saya kacau. Pendapatan yang lumayan itu pun,
tak ada bekasnya. Dari situlah saya terbawa pengaruh lingkungan. Tahun 1978
saya berpindah agama ke Kristen. Bukannya ketenangan, kegelisahan saya malah
menjadi-jadi.
Kekristenan saya mulai goyah sekitar tahun 1983. Saat itu saya sudah
bergabung dengan Srimulat. Kebiasaan mabuk-mabukan pun mulai saya
tinggalkan. Pikiran saya mulai jalan, mencari-cari akar kegundahan. Mulai
tumbuh 'kecemburuan' saat melihat kawan-kawan yang muslim, menikmati
kesyahduan suara azan. Pun saat mereka menikmati kebersamaan ketika sholat
berjamaah.
Apalagi kalau datang bulan Ramadhan. Mendengar azan magrib, dur.. dur..
dur.. bedug ditabuh, menyaksikan kawan-kawan berbuka puasa, masya Allah
terbayang dalam benak saya kenikmatan berbuka. Saya merasa di situ ada
kebahagiaan. Setelah berpuasa seharian, saat berbuka, bersama-sama lagi,
terasa benar nikmatnya. Kemudian bergegas ke masjid untuk tarawih berjamaah.
Hal-hal seperti itu banyak membantu menyadarkan saya kembali ke jalan yang
benar. Kalaupun ada, faktor orang lain sebenarnya hanya bersifat penunjang,
yang dominan adalah suara qalbu saya yang memanggil untuk kembali kepada
Islam. Sejauh itu saya masih beranggapan, semua agama baik. Tapi lama-lama,
ada beberapa ajaran yang menyadarkan saya, ternyata Islamlah yang paling
sempurna. Misalnya, dalam surat Al-Ikhlash disebutkan, "Katakan, 'Tuhan itu
satu, Tuhan tidak beranak, tidak diperanakkan." Logikanya, kalau Dia punya
anak, pasti anaknya diistimewakan, nggak mungkin Dia mendahulukan yang lain.
Akhirnya, pada suatu malam di tahun 1986, saya bulatkan tekad kembali kepada
Islam. Saya mencapai kesadaran bahwa saya sudah melenceng. Malam itu juga
saya sholat tahajud 50 rakaat dan satu rakaat witir, sampai menjelang waktu
sholat subuh. Setiap selesai dua rakaat saya tandai dengan satu biji korek.
Paginya saya menemui seorang kiai, mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sejak
itulah, saya buka lembaran baru.
Ketika saya kembali kepada Islam, ada keharuan yang amat-sangat. Bayangkan,
bapak saya orang Madura. Tak ada orang Madura yang beragama Kristen. Maka
seperti saat saya meninggalkan Islam, kembalinya saya kepada Islam juga
ditangisi saudara-saudara saya. Tangis haru dan penuh rasa syukur.
Alhamdulillah, sejak itu saya merasakan ketenangan hidup. Meskipun ada
sedikit kegelisahan yang tersisa, itu karena saya tak bisa menyadarkan istri
dan empat orang anak saya untuk masuk Islam. Sampai akhirnya saya memutuskan
berpisah dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar